07/08/11

Problematika Globalisasi: Dunia di Dalam ancaman Puritanisme

Pertempuran Laut diselat Tsusima yang dimenangkan oleh bala tentara Jepang atas pasukan Kekaisaran Rusia pada tahun 1905 adalah merupakan salah satu pencapaian ikonik dari Restorasi Meiji, yang kelak membawa Jepang menjadi salah satu negara industri paling maju dimuka bumi. Diseberangnya, China, setelah mengalami pelbagai macam perang serta penindasan dari sistem Komunis yang terbukti gagal membawa kemakmuran bagi warga Masyarakatnya maka pada tahun 1980-an memilih untuk menyerap nilai Kapitalisme secara terbatas pada kantong kantong pertumbuhan yang telah disiapkan di wilayah Selatan dan sepanjang Pantai Timur-nya, dimana pada beberapa dekade kemudian mampu menjadi motor utama bagi Modernisasi maha dahsyat sebagaimana yang dapat kita saksikan hari hari ini. Demikian pula Eropa, sebuah ‘dunia lama’ yang sepanjang usianya berlumuran darah akibat pertentangan Ideologis, Sosial, Ekonomi yang silih berganti menjerumuskannya kedalam katastropi kemanusiaan nan tak terperi, pada akhirnya memilih menanggalkan kebanggaan primordialismenya tersebut untuk kemudian melebur menjadi sebuah Mayarakat yang terintegrasi didalam sebuah komunitas tunggal yang diberi nama Masyarakat Eropa. Dari semua peralihan Peradaban itu, ada satu pola simetris yang dilakukan oleh Bangsa Bangsa didunia ini untuk terus maju menggerakkan jentera kehidupannya, yaitu melakukan Mekanisme DIALEKTIS agar tetap eksis ditengah deru zaman yang melintas cepat.

Pada sisi dunia yang lain, kita justru disuguhi pemandangan yang antonim, bahkan mendekati tragis. Tatkala dunia memilih untuk membuka diri, menanggalkan primordialisme sektariannya yang lalu meleburkannya menjadi sebuah identitas baru yang lebih maju maka pada belahan dunia tertentu kita menyaksikan sebuah kegamangan sikap untuk menghadapi zaman. Salah satu problematika terbesar yang tengah dihadapi oleh dunia tersebut dewasa ini adalah ketidak-mampuannya untuk MERUMUSKAN serta MEMFORMULASIKAN jati dirinya sebagai sebuah kelompok Masyarakat dihadapan zaman yang senantiasa berubah. Ketiadaan kesepakatan diantara mereka sendiri, suatu keterpecahan sikap didalam upaya mengantisipasi pelbagai isu yang berkembang membuat mereka terjebak kedalam pertikaian internal yang dengan sendirinya membuatnya menjadi komunitas yang lemah. Pada akhirnya, keterpecahan sikap serta kelemahan ini malah menyeret seluruh daya upaya Umat Manusia berada dibibir bencana.

Namun, bagaimanapun juga, kedegilan sikap yang kontradiktif ini tidak akan berdaya dihadapan zaman. Hukum Dialektika selalu berhasil membuktikan bahwa Antitesis akan selalu datang dari DALAM DIRINYA SENDIRI, dia muncul dari Tesis itu sendiri. Bila kita mujur, maka cepat atau lambat perlawanan terhadap sikap tirani yang menentang zaman ini justru akan muncul dari anak Bangsanya yang tertindas itu sendiri. Yang menjadi persoalan bagi kita, sebuah pertanyaan maha besar bagi dunia ini adalah seberapa besarkah pengorbanan yang akan dipersembahkan oleh dunia ini sebelum kelak komunitas itu benar benar terlepas dari cengkeraman tiran? Untuk menjawab pertanyaan itu sangatlah tergantung dari respon serta sikap kita semua sebagai warga dari Masyarakat dunia ini.

Oleh: Reinhart dalam http://forum.kompas.com/internasional/30133-problematika-globalisasi-dunia-di-dalam-ancaman-puritanisme.html

03/08/11

Pesantren dan Tantantangan Radikalisme


PERISTIWA ledakan yang terjadi di Pesantren Umar Bin Khattab (UBK), Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) pimpinan Abrori yang diduga mengajarkan teorisme, mencoreng lembaga pendidikan Islam yang paling kuno di negeri ini.

Pesantren yang kebanyakan dihuni oleh para kiai dan santri warga nahdliyyin yang notabene sebagai pendiri bangsa ini, sangat dirugikan dengan kejadian di Pesantren UBK tersebut. Pesantren ternyata saat ini dimanfaatkan oleh para kelompok-kelompok yang ingin mengajarkan terorisme, melawan Negara dan ingin menghancurkan NKRI.

Pada Senin 11 Juli lalu, terjadi ledakan yang menewaskan Firdaus, seorang guru, di Ponpes Umar bin Khattab. Pihak kepolisian belum bisa memastikan apakah korban tewas akibat ledakan atau sebab lain. Sedangkan pihak UBK melarang polisi melakukan penyelidikan lebih lanjut. Bahkan para santri berusaha menghadang polisi untuk masuk pesantren.

Ketertutupan dan ketidakakomodatifan dengan masyarakat dan pihak aparat menunjukkan pesantren UBK bukan seperti pesantren yang bertradisi di Indonesia. Masyarakat pun paham, bahwa pesantren tersebut bisa dipastikan bukan pesantren yang ada dalam tradisi nahdliyyin.
Pesantren adalah bentuk pendidikan asli Indonesia, yang kehadirannya penuh dengan semangat patriotisme kepada Tanah Air. Bukan malahan merongrong keberadaan NKRI, yang susah payah diperjuangkan oleh para sesepuh kita dari pesantren.

Pesantren merupakan pendidikan Islam tertua. Lahir, tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Pesantren juga merupakan media pendidikan seiring masuknya Islam kD Indonesia sejak abad ke 13 M dan mengalami pertumbuhan yang signifikan pada abad-abad berikutnya hingga menjadi agama mayoritas.

Pesantren merupakan pendidikan asli Indonesia yang mampu mengintegrasikan nilai-nilai lokal, baik fisik maupun tata nilai dengan keislaman sehingga berpadu pada Islam Nusantara yang toleran dan moderat, yang menjadi ciri utama dan khas pesantren Ahlussunnah waljamaah (Aswaja) yang banyak dikelola para ulama Nahdliyyin.

Kemampuan adaptasi ini membuat pesantren dengan mudah diterima oleh masyarakat. Kehadirannya tidak mengganggu tradisi yang ada, sehingga pesantren tidak sekadar menjadi budaya pendidikan, tetapi telah menjadi subkultur tersendiri, menjadi suatu lembaga sosial-budaya yang utuh dan menjadi rujukan masyarakat dalam berpikir dan bertindak.

Kesuksesan tersebut tidak bisa dilepaskan dari penyebar Islam Nusantara dalam mendialektikkan budaya dan agama hingga keduanya bertemu dan saling mengisi. Di sini pesantren punya peran yang kuat di masyarakat Seperti pesantren yang didirikan oleh Raden Rahmat di Ampel Denta Surabaya dan Sunan Giri di Giri. (Imam Jazuli: 2011).

Keberhasilannya menciptakan tradisi belajar antara kyai-santri dalam sebuah komplek pondokan, masjid, rumah kyai atau pengasuh, ditiru berbagai kelompok Islam yang ada di Indonesia. Bahkan, tidak bisa dipungkiri Kementerian Agama RI juga pernah menggunakan model pendidikan seperti pesantren dalam rangka mempunyai bibit unggul dalam belajar keagamaan, seperti program Madrasah Aliyah Program Khusus (MA PK).

Tantantangan Radikalisme

Wakil Ketua Umum PBNU H As’ad Said Ali mengingatkan, umat Islam Indonesia dan kaum santri, pada khususnya, sedang dihadapkan pada dua persoalan besar, yaitu serbuan radikalisme Islam atau fundamentalisme agama di satu sisi dan disisi lain, menghadapi fundamentalisme pasar bebas yang dikenal dengan liberalisme.

Mereka sama-sama fundamentalis, membawa ideologi keras yang tidak bisa dikompromikan dengan budaya setempat. Pertarungan ideologi tersebut memberi andil besar terhadap terjadinya krisis di berbagai bidang kehidupan.

Pesantren juga mengadopsi modernitas, meskipun bukan tanpa risiko. Penerimaan budaya modern tanpa reserve dapat menimbulkan kehilangan orientasi, sedangkan penolakan mentah-mentah akan menjadi beku dan kehilangan arah. Prinsip yang dipegang pesantren adalah al muhafadzatu alal qadimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah, yang artinya mempertahankan yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik. Ini merupakan jalan tengah strategi pengembangan kebudayaan yang ideal.

Pesantren, sebagaimana diajarkan oleh para ulama, memiliki relevansi tersendiri dalam menghadapi ancaman kedua macam fundamentalisme ini. Prinsip dan strategi para ulama dan kiai pesantren masih relevan dalam menghadapi krisis identitas saat ini. (NU Online,26/6).

As’ad Ali juga berharap agar umat Islam melakukan evaluasi paradigma pengembangan Islam dan sosial yang dilakukan selama ini, agar sesuai dengan paradigma yang dibangun para ulama terdahulu, dan pesantren bisa menjadi pusat pengembangan budaya, bukan sekadar menjadi konsumen budaya dan pemikiran dari luar.

Dalam situasi dunia yang sedang kacau seperti ini, semestinya kalangan pesantren Indonesia mampu memberikan berbagai solusi, bahkan alternatif agar tercipta kehidupan dunia yang lebih harmoni dan lebih sejahtera.

Peristiwa di pesantren UBK ini, menjadi pelajaran yang penting bagi pemerintah juga masyarakat luas untuk melakukan koreksi. Untuk yang akan menyantrikan putra-putrinya di pesantren. KH Hasyim Muzadi menyarankan secara sederhana; yaitu dilihat siapa kyainya yang mengasuh, kitab-kitab apa yang diajarkannya, bagaimana para alumninya berkiprah di masyarakat. Kalau tidak diketahui sebelumnya, bisa-bisa anak kita masuk ke dalam kelompok Radikal tapi berbaju pesantren. Wallahua’lam

Arief Fauzi Marzuki,
Sekretaris PW GP ANSOR DIY

11/07/11

Guru yang Berkualitas

Guru merupakan unsur paling penting dalam dunia pendidikan, dan guru yang berkualitas merupakan penopang utama lahirnya pendidikan yang bermutu. Sehingga menurut Munif Chatib (Sekolahnya Manusia, 2009), aset terbesar dan paling bernilai di sebuah sekolah adalah guru yang berkualitas, yaitu guru yang tidak pernah berhenti belajar.

Hal ini terbukti pada negara Finlandia yang kualitas pendidikannya menempati peringkat pertama di dunia. Peringkat 1 dunia ini diperoleh Finlandia berdasarkan hasil survei internasional yang komprehensif pada tahun 2003 oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Tes ini dikenal dengan nama PISA (Programme for International Student Assesment) yang mengukur kemampuan siswa di bidang sains, matematika dan membaca.

Apa kunci keberhasilan negara Finlandia tersebut? Ternyata kuncinya terletak pada kualitas guru. Di Finlandia hanya ada guru-guru dengan kualitas terbaik dan dengan pelatihan terbaik pula. Profesi guru sendiri adalah profesi yang sangat dihargai, meski gaji mereka tidaklah fantastis. Di mana lulusan terbaik dari sekolah menengah biasanya mendaftar pada Fakultas Pendidikan. Persaingannya pun lebih ketat daripada masuk ke Fakultas Hukum atau Kedokteran.

Bandingkan di negara kita, kualitas guru belum menjadi skala prioritas. Hal ini bisa dilihat dari maraknya pelatihan guru oleh pemerintah, tapi hasilnya tak begitu menggembirakan. Karena memang pelatihan-pelatihan tersebut masih cendrung pada project oriented. Sementara mahasiswa yang masuk ke FKIP dan Fakultas Tarbiyah tidak melalui kompetensi yang selektif.

Bahkan ada kecenderungan pilihan sebagian besar mahasiswa terhadap kedua fakultas tersebut (FKIP dan Tarbiyah) karena dorongan pragmatis, sebutlah agar cepat memperoleh pekerjaan dan peluang tembus PNS-nya besar. Sehingga berimplikasi pada spektrum berpikir dan bertindak ketika menjadi guru. Dimana kerja mengajar bukan lagi dimaknai sebagai tugas kemanusiaan dan wahana mencerdaskan anak bangsa, tapi semata-mata soal tuntutan pekerjaan.

Hal inilah kiranya yang mendasari perilaku immoral guru dalam memberikan contoh yang destruktif, dan sama sekali tak mendidik kepada siswanya. Seperti yang terjadi pada peristiwa contek massal murid Sekolah Dasar (SD) di Surabaya, Jawa Timur beberapa waktu lalu. Bayangkan, guru yang notabene penyeru kebajikan, melacuri nuraninya untuk sesuatu yang sama sekali jauh dari hakikat pendidikan itu sendiri.

Ketika seseorang berniat menjadi guru, maka dengan penuh kesadaran ia sudah membuat pilihan untuk memikul tanggung jawab yang besar. Karena menjadi guru, bukan menjadi politisi yang dituntut untuk pandai membangun janji, atau pelawak yang di tuntut untuk pandai membuat audiensnya tertawa terpingkal-pingkal. Menjadi guru, adalah menjadi—“pelita dan oase”— yang menerangi kegelapan berpikir dan memuaskan dahaga keingin-tahuan anak didik.

Manusia Merdeka

Maka tugas seorang guru bukan sekadar melakukan pengajaran dengan setumpuk teori dan doktrin. Tapi juga memberikan pembelajaran yang dapat merangsang kreativitas dan potensi anak didik sesuai dengan kapasitas “alam pikir”-nya. Di sini, guru yang berkualitas adalah guru yang mampu memosisikan anak didiknya sebagai manusia “merdeka” dengan segala potensinya, baik itu potensi ruhaniyah (spiritual), aqliyah (pikiran), nafsiyah (jiwa), dan jasmaniyah (tubuh).

Sehingga keberadaan guru dalam kelas bukan sekadar sebagai penceramah dengan segala kuasa monolog-nya, tetapi memosisikan diri—sebagai mediator yang dialogis—guna memicu kreatifitas, menumbuhkan nalar, dan menggali potensi siswa. Makanya Rogers (dalam Palmer, 2003), meniscayakan perlunya perilaku guru yang menerima siswa sesuai dengan potensinya, menciptakan hubungan saling percaya dan nyaman, serta membangun hubungan dialogis yang memberdayakan siswa untuk mencapai aktualisasi diri.

Untul itu Munif Chatib, Praktisi Multiple Intelligences menawarkan 5 langkah strategi pembelajaran yang baik. Pertama, batasi waktu guru dalam melakukan presentasi (30%), limpahkan waktu terbanyak (70%) untuk aktivitas siswa. Dengan aktivitas tersebut, otomatis siswa akan belajar. Kedua, gunakan modal “modalitas” belajar yang tertinggi, yaitu modalitas kinestetis (segala jenis gerak, aktivitas tubuh, emosi, kordinasi, dan hal lain yang terkait) dan visual (citra visual, warna, gambar, catatan, diagram, grafik, peta pikiran, dan hal-hal lain yang terkait) dengan akses informasi melihat, mengucapkan, dan melakukan.

Ketiga, mengaitkan materi yang diajarkan dengan aplikasi dalam kehidupan sehari-hari yang mengandung keselamatan hidup. Keempat, menyampaikan materi kepada siswa dengan melibatkan emosinya. Hindarkan pemberian materi secara hambar dan membosankan. Kelima, melibatkan partisipasi siswa untuk menghasilkan manfaat yang nyata dan dapat langsung dirasakan oleh orang lain. Siswa merasa mempunyai kemampuan untuk menunjukkan eksistensi dirinya.

Bersahabat dengan Kritik

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Munif Chatib di awal tulisan ini, bahwa guru yang berkualitas adalah guru yang tidak pernah berhenti belajar. Dan salah satu indikator dari guru pembelajar adalah guru yang bersahabat dan tidak alergi dengan kritik, sekalipun oleh siswanya sendiri. Sehingga oleh Soe Hok Gie (Catatan Seorang Demonstran, 2005), guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau.

Di atas itu semua adalah kesadaran moral guru akan luhur dan mulianya tugas mengajar. Sehingga diperlukan komitmen, kompetensi dan kearifan dalam mendidik. Dengan harapan melahirkan generasi bangsa yang manusiawi; yakni generasi yang cerdas, berbudi luhur, dan menjauhkan segala bentuk kekerasan dari laku hidupnya.

Muhamad Hamka
Analis Sosial & Pendidikan berdomisili di Aceh

10/07/11

Ditarik Biaya, Wali Murid Diminta Lapor Kemendiknas


Jawa Pos, 9 Juli 2011****
JAKARTA *–* *Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh menyatakan prihatin dengan masih munculnya keluhan penarikan biaya pendidikan siswa baru di SD dan SMP negeri yang mencapai ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Namun, mantan rektor ITS itu tetap optimistis, ke depan tak akan ada lagi penarikan biaya di tingkat pendidikan dasar. Termasuk di sekolah berlabel RSBI.
Nuh mengakui, banyak sekali modus yang dilakukan pihak sekolah untuk mengumpulkan uang dari wali murid baru. Di antaranya, mengumpulkan semua wali murid bersama dengan komite sekolah. Dalam pertemuan tersebut, kepala sekolah atau perwakilan komite meminta sumbangan pembangunan kepada wali murid.****
''Secara lisan memang *ngomong* sumbangan. Tapi, jika besaran sumbangan dan tempo pembayarannya ditentukan, itu bukan sumbangan,'' tegas mantan Menkominfo itu. ****
Nuh mengimbau wali murid baru yang menemukan praktik-praktik semacam itu segera melapor ke dinas pendidikan kota, kabupaten, atau provinsi. ****
Jika tidak digubris, itu bisa dilaporkan langsung ke Kemendiknas. Kementerian berslogan "tut wuri handayani" itu melayani jalur khusus untuk pengaduan pungutan biaya pendidikan dasar dalam masa penerimaam peserta didik baru (PPDB). ****
Masyarakat bisa memanfaatkan pula *call center* Kemendiknas 117,
021-57950226 dan 021-5703303. Nuh juga mengatakan, orang tua tidak perlu khawatir anaknya bakal mendapat intimidasi karena melaporkan praktik penarikan biaya pendidikan.****
Nuh lebih lanjut menjelaskan, pihak yang paling bertanggung jawab dalam praktik penarikan biaya sekolah pendidikan dasar adalah kepala sekolah. Untuk itu, dia berjanji akan menindak tegas kepala sekolah yang terbukti menarik sejumlah uang meskipun diembel-embeli sumbangan. ''Sanksi bisa berbentuk pembinaan,'' kata dia. Cara penyelesaian yang lebih bijak, lanjut Nuh, ialah mengembalikan uang setoran dari wali murid baru.****
Sejatinya, Mendiknas sudah mengeluarkan Surat Peraturan Bersama Menteri Agama (Menag) tentang Penerimaan Peserta Didik Baru 2011. Peraturan bersama tersebut mengatur pola penerimaan peserta didik baru mulai taman kanak-kanak, SD, SMP, hingga SMA dan sederajat.****
Dalam pasal 18 peraturan menteri itu, orang tua peserta didik diberi kesempatan memberikan sumbangan kepada sekolah. Kesempatan itu terbuka setelah peserta didik dinyatakan diterima. ''Jadi, sumbangan tidak memengaruhi calon siswa diterima atau ditolak,'' ujar Nuh. ****
Selanjutnya, sumbangan yang dimaksud dalam peraturan menteri itu adalah dukungan finansial atau nonfinansial yang diberikan secara sukarela. ''Inti dari sukarela itu boleh memberikan sumbangan dan boleh tidak,'' tegas Nuh. Nominal dan jangka waktu setoran sumbangan tersebut juga tidak ditentukan.****
Nuh juga mengamati perilaku sekolah RSBI yang terkesan ugal-ugalan menarik biaya pendidikan. Dia menuturkan, idealnya sekolah RSBI juga tidak boleh menarik biaya pendidikan. ''Sebab, mereka sudah mendapat bantuan ratusan juta (rupiah) dari Kemendiknas dan pemerintah daerah. Seharusnya juga gratis,'' tandas Nuh.****
Jangan-jangan bantuan tersebut kurang? Menurut Nuh, jika mengikuti alasan kuFang, seberapa besar sumbangan yang diterima bakal kurang terus. ''Contohnya, sudah ada AC satu masih kurang dan ingin tambah menjadi dua. Dan seterusnya,'' tutur Nuh.****
Biaya pendidikan yang diterapkan RSBI itu bisa menimbulkan rasa ketidakadilan dengan sekolah-sekolah yang lain. Untuk itu, dia mengupayakan menekan biaya pendidikan di sekolah RSBI. Jika tidak bisa gratis seratus persen, tarikan biaya pendidikan siswa baru di sekolah RSBI tidak sampai jutaan rupiah.****
Penarikan biaya sekolah saat musim penerimaan siswa baru bisa menjegal upaya wajib belajar pendidikan dasar (wajar dikdas) sembilan tahun. ''Seluruh anak usia sekolah wajib sekolah hingga tingkat SMP,'' tandas Nuh. Dia tidak menampik kemungkinan ada siswa gagal sekolah karena tidak mampu membayar biaya pendidikan. *(wan/c4/ttg)

Share